Translate

Senin, 21 November 2011

Keislaman Indonesia

Komaruddin Hidayat

Opini KOMPAS, Sabtu 5 November 2011

Sebuah penelitian sosial bertema " How Islamic are Islamic Countries" menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140.

Adalah Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University yang melakukan penelitian ini. Hasilnya dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010). Pertanyaan dasarnya adalah seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat Muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial?

Ajaran dasar Islam yang dijadikan indikator dimaksud diambil dari Al Quran dan hadis, dikelompokkan menjadi lima aspek. Pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia. Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial. Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat, hak asasi manusia dan hak politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat non-Muslim.

Setelah ditentukan indikatornya, lalu diproyeksikan untuk menimbang kualitas keberislaman 56 negara Muslim yang menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang rata-rata berada di urutan ke-139 dari sebanyak 208 negara yang disurvei.

Pengalaman UIN Jakarta

Kesimpulan penelitian di atas tak jauh berbeda dari pengalaman dan pengakuan beberapa ustaz dan kiai sepulang dari Jepang setelah kunjungan selama dua minggu di Negeri Sakura. Program ini sudah berlangsung enam tahun atas kerja sama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, dengan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta.

Para ustaz dan kiai itu difasilitasi untuk melihat dari dekat kehidupan sosial di sana dan bertemu sejumlah tokoh. Setiba di Tanah Air, hampir semua mengakui bahwa kehidupan sosial di Jepang lebih mencerminkan nilai-nilai Islam ketimbang yang mereka jumpai, baik di Indonesia maupun di Timur Tengah.

Masyarakat terbiasa antre, menjaga kebersihan, kejujuran, suka menolong, dan nilai-nilai Islam lain yang justru makin sulit ditemukan di Indonesia.

Pernyataan serupa pernah dikemukakan Muhammad Abduh, ulama besar Mesir, setelah berkunjung ke Eropa. ”Saya lebih melihat Islam di Eropa, tetapi kalau orang Muslim banyak saya temukan di dunia Arab,” katanya.

Kalau saja yang dijadikan indikator penelitian untuk menimbang keberislaman masyarakat itu ditekankan pada aspek ritual-individual, saya yakin Indonesia akan menduduki peringkat pertama menggeser Selandia Baru. Jumlah yang pergi haji setiap tahun meningkat, selama Ramadhan masjid penuh dan pengajian semarak di mana-mana.

Tidak kurang dari 20 stasiun televisi di Indonesia setiap hari pasti menyiarkan dakwah agama. Terlebih lagi selama bulan Ramadhan, hotel pun diramaikan oleh tarawih bersama. Ditambah lagi yang namanya ormas dan parpol Islam yang terus bermunculan.

Namun, pertanyaan yang dimunculkan oleh Rehman dan Askari bukan semarak ritual, melainkan seberapa jauh ajaran Islam itu membentuk kesalehan sosial berdasarkan ajaran Al Quran dan hadis.

Contoh perilaku sosial di Indonesia yang sangat jauh dari ajaran Islam adalah maraknya korupsi, sistem ekonomi dengan bunga tinggi, kekayaan tak merata, persamaan hak bagi setiap warga untuk memperoleh pelayanan negara dan untuk berkembang, serta banyak aset sosial yang mubazir.

Apa yang dikecam ajaran Islam itu ternyata lebih mudah ditemukan di masyarakat Muslim ketimbang negara-negara Barat. Kedua peneliti itu menyimpulkan: ...it is our belief that most self-declared and labeled Islamic countries are not conducting their affairs in accordance with Islamic teachings – at least when it comes to economic, financial, political, legal, social and governance policies.

Dari 56 negara anggota OKI, yang memperoleh nilai tertinggi adalah Malaysia (urutan ke-38), Kuwait (48), Uni Emirat Arab (66), Maroko (119), Arab Saudi (131), Indonesia (140), Pakistan(147), Yaman (198), dan terburuk adalah Somalia (206). Negara Barat yang dinilai mendekati nilai-nilai Islam adalah Kanada di urutan ke-7, Inggris (8), Australia (9), dan Amerika Serikat (25).

Sekali lagi, penelitian ini tentu menyisakan banyak pertanyaan serius yang perlu juga dijawab melalui penelitian sebanding. Jika masyarakat atau negara Muslim korup dan represif, apakah kesalahan ini lebih disebabkan oleh perilaku masyarakatnya ataukah pada sistem pemerintahannya? Atau akibat sistem dan kultur pendidikan Islam yang salah?

Namun, satu hal yang pasti, penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku sosial, ekonomi, dan politik negara-negara anggota OKI justru berjarak lebih jauh dari ajaran Islam dibandingkan negara-negara non-Muslim yang perilakunya lebih islami.

Semarak dakwah dan ritual

Hasil penelitian ini juga menyisakan pertanyaan besar dan mendasar: mengapa semarak dakwah dan ritual keagamaan di Indonesia tak mampu mengubah perilaku sosial dan birokrasi sebagaimana yang diajarkan Islam, yang justru dipraktikkan di negara-negara sekuler?

Tampaknya keberagamaan kita lebih senang di level dan semarak ritual untuk mengejar kesalehan individual, tetapi menyepelekan kesalehan sosial. Kalau seorang Muslim sudah melaksanakan lima rukun Islam --syahadat, shalat, puasa, zakat, haji-- dia sudah merasa sempurna.

Semakin sering berhaji, semakin sempurna dan hebatlah keislamannya. Pada hal misi Rasulullah itu datang untuk membangun peradaban yang memiliki tiga pilar utama: keilmuan, ketakwaan, dan akhlak mulia atau integritas. Hal yang terakhir inilah, menurut penelitian Rehman dan Askari, dunia Islam mengalami krisis.

Sekali lagi, kita boleh setuju atau menolak hasil penelitian ini dengan cara melakukan penelitian tandingan. Jadi, jika ada pertanyaan: How Islamic are Islamic Political Parties?, menarik juga dilakukan penelitian dengan terlebih dahulu membuat indikator atau standar berdasarkan Al Quran dan hadis. Lalu, diproyeksikan juga untuk menakar keberislaman perilaku partai-partai yang mengusung simbol dan semangat agama dalam perilaku sosialnya.

Komaruddin Hidayat Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Rabu, 07 September 2011

Mudik Lebaran 2011 - Lebaran Hari II

Selayar, August 31, 2011

Lebaran ke-2, pertama untuk yang lebaran hari Rabu. Agenda utama hari ini, sunatan Ghufron.Ghufron itu anak kakak yang ke-3. Yang pertama Ayi (Ali), ke-2 Akbar (alm.), Ghufron (Uppom, Gupot), terus Memey, dan si bungsu Afif (Pippo). Ghufron sudah kelas 6 SD, waktu yang tepat. Kebetulan, 2 sepupunya yang lain juga mau disunat, jadi sekalian. Cuma, berhubung mereka harus pulang ke Balikpapan lebih cepat, Ghufron disunat tanggal 31 Agustus sementara sepupunya yang lain nanti hari Sabtu, 3 Sep 2011. Nanti tinggal ikut resepsi aja. Halah, sunatan pake resepsi segala. Anak jaman sekarang memang beda.

Sisa hari, dipakai untuk mengunjungi saudara-saudara dan tetangga-ttangga yang belum sempat dikunjungi kemarin.




Mudik Lebaran 2011 - Lebaran Hari I

Selayar, August 30, 2011

Di Selayar, kebanyakan lebaran hari Selasa, 30 Agusuts 2011. Logis, karena Muhammadiyah cukup berpengaruh, termasuk keluarga besar. Dari Kakek Rumma ternyata telah terdaftar sebagai anggota Muhammadiyah.
Tapi, personally untuk saya sendiri, bukan karena Muhammadiyah jadi ikutan lebaran hari Selasa, instead of keputusan pemerintah untuk lebaran hari Rabu. Sebelum mudik lebaran, sudah ngecek dulu kalau ternyata, from astronomical definition, new moon terbentuk pada tanggal 29 Agustus 2011 jam 03:04 UTC. It means, by the sunset di WITA, sekitar 10:00 UTC, usia bulan sudah sekitar 7 jam, hampir 1/3 hari, sekitar 5 degrees dari permulaan orbit bulan baru. Tentu saja posisi diatas horizon berbeda, lebih rendah. [Still working on finding the mathematical relation]. Tapi, from what I believe, the hilal should be visible from somewhere nearby. Entah siapa yang benar, tapi yang terjadi seperti ini:
http://www.detiknews.com/read/2011/08/29/201142/1713346/10/hilal-terlihat-di-cakung-dan-jepara-mui-itu-harus-ditolak

Lebarannya sendiri cukup rame, lapangan Pemuda Benteng (kalau di Jawa setara dengan alun-alun) hampir penuh.

Akhirul kalam, hari apapun lebarannya, apapun alasannya, kita hanya orang-orang bodoh dihadapan ilmu Allah yang luas dan tinggi. Jadi, mohon maaf lahir dan bathin, taqabbalallahu minna waminkum.

Mudik Lebaran 2011 - Day 3-4

Selayar, August 28-29, 2011

Hari Minggu, aroma lebaran mulai terasa. Selongsong-selongsong ketupat berseliweran. Termasuk di rumah, daun pandan sudah dipotong dari pohonnya dan dianyam sendiri. Hari Seninnya apa lagi. Hebohhhh. Pagi-pagi dah berseliweran bawa-bawa daging segar. Asap mulai mengepul dari segenap penjuru dan aroma bumbu memenuhi angkasa. Bikin konsentrasi puasa makin buyar aja :D.

Topik hangat lain, kemungkinan perbedaan 1 Syawal, again!

Salah satu diskusi yang cukup rame dan sempat ikut berkomentar disini:
http://sosbud.kompasiana.com/2011/08/30/bagaimana-lapan-mui-dan-menteri-agama-ri-mempertanggungjawabkan-pendapatnya-pada-umat-islam-di-dunia-dan-terutama-kepada-allah-swt/ 

Sabtu, 27 Agustus 2011

Mudik Lebaran 2011 - Day 2

Selayar, August 27, 2011
Dalam 24 jam di rumah, my bloodsugar must be skyrocketing. Dalam waktu sesingkat itu, makan nasi lebih banyak dari konsumsi nasiku dalam 4 minggu sebelumnya, plus kue-kue dan pallu butung yang selalu manis. Enak sih, tapi, penuh rasa bersalah. Makanya, bela-belain ngajakin ponakan-ponakan main bola pake gawang kecil di halaman dan memanfaatkan barang-barang yang ada untuk sedikit muscle exercise.

Ga banyak yang dilakukan hari ini. Mostly tidur, soalnya cuaca lagi mendukung. Pagi-pagi setelah shubuh hujan, tapi tidak terlalu deras. Sepertinya, tadi malam adalah lailatul qadr. Baru bangun jam 9.30, itupun karena dibangunkan :D. Sepanjang siang juga mendung ringan, jadinya sore tidur lagi sampai jam 16:30.

Yang terpenting hari ini, diceritakan lagi tentang our visionary great grandpa, Kakek Rumma. Sewaktu hendak melepas putranya, untuk bersekolah ke Bantaeng, beliau berujar, kurang lebih intinya seperti ini,
"Yang kita lakukan sekarang adalah, ibarat membangun rumah, kita sedang membangun rumah kecil yang masih setengah jadi. Kelak nanti, anak cucu kita yang akan melengkapi dan membesarkannya."

Insya Allah, ini akan menjadi do'a buat kami semua, cucu, cicit, dan seterusnya. Buat semua yang dalam darahnya mengalir darah Kakek Rumma, mari kita mewujudkan harapan beliau, seorang petani sederhana dari kampung Pa'batteang, tapi memiliki visi yang jauh ke depan pada masanya dan menganggap pendidikan sangat penting dalam pembentukan pribadi dan karakter seseorang. Insya Allah, kami tidak akan mengecewakanmu Kek.


Jumat, 26 Agustus 2011

Mudik Lebaran 2011 - Day 1

Jakarta, August 25, 2011

Preparation
Untuk efisiensi, dari rumah di Bogor, ngantor ke Jakarta, dan langsung ke bandara. Lumayan efisien, cape juga. Dan hanya applicable temporarily, while Cadel is not around.

Dari kantor di Green Garden ke Cengkareng, normal-normal aja. Check in ontime for the midnight flight Merpati MZ-774 ke Makassar. Everything is fine, terutama karena flight-nya dapat makan besar. Hal yang langka kalau naik airline lokal yang kebanyakan cuma menyediakan snack.

Kebiasaan airline hanya menyediakan snack dimulai sejak airline-airline baru meng-adopsi konsep LCC (Low Cost Carrier) yang dipopulerkan oleh jetBlue (www.jetblue.com) dengan melakukan berbagai efisiensi dalam operasionalnya. Awalnya memang demikian, tiket yang dijual jauh dibawah harga 'normal', bahkan sampai pada level perang harga yang ujung-ujungnya membahayakan keselamatan karena 'efisiensi' yang salah tempat. Masih segar ingatan kita akan kecelakaan-kecelakaan yang terjadi serta larangan terbang terhadap maskapai Indonesia ke Eropa dan Amerika sampai standar keselamatan diperbaiki.

Tapi apa yang kita lihat sekarang? Harga tiket yang dijual, apalagi di musim lebaran seperti ini, sangat tidak mencerminkan konsep LCC tadi. Satu-satunya yang dipertahankan tinggal pelitnya doang, gak ngasi makan besar. Jadi, menurut saya, di level ini pengguna jasa penerbangan dan YLKI harus bersuara karena mereka menjual tiket dengan margin keuntungan yang sudah memungkinkan untuk disediakan makan besar.

Ok, let's  back to my trip. Flightnya smooth, tepatnya ga sadar, karena tidur hampir sepanjang penerbangan yang memakan waktu 2 jam 15 menit. Hanya bangun saat makan tengan malam disajikan dan saat mau landing. It was a smooth landing at Bandara International Sultan Hasanuddin, yang cukup mirip dengan HKIA (Hong Kong Int'l Airport).

Makassar-Selayar, August 26, 2011
As planned, nunggu pagi dengan tidur di bandara. Cukup nyenyak, berkat bekal bantal tiup.

Setelah shalat shubuh, keluar ke loket-loket airline untuk memastikan tiket pesawat ke Selayar dengan maskapai perintis Sabang Merauke Raya Air Charter (SMAC). After a little while, thanks to the not-so-professional service, I got my boarding pass and now waiting for my flight to Selayar.

Well, bagian agak memalukannya disini, terpaksa nunggu cukup lama. Tadinya, flight ke Selayar itu Jumat pagi. Tapi, begitu berhasil mengontak telp SMAC dari Jakarta, ternyata flight-nya berubah jadi jam 3. Padahal, sudah terlanjur pesan tiket ke Makassar yang sampai dinihari. But it's OK, ga akan bosan, I have Mimin (Cadel's DELL Mini 9 with internal HSPA modem), sex1 (my SE XPERIA X1), and a pile of books :D.

Mudik Lebaran 2011 - Intro

Yes, I'm on vacation. Melarikan diri dari kegilaan-kegilaan ibukota yang somehow menarik bak madu dan membuat lebah-lebah berkerumun.

Mudik lebaran tahun ini kembali terbagi dalam 2 etape: 
Etape 1: Bogor-Jakarta-Makassar-Selayar-Makassar-Jakarta-Bogor, 25 Agustus - 2 September 2011
Interlude....masuk kerja 1 hari dan................ lanjoooot
Etape 2: Bogor-Jakarta-Semarang-Jakarta-Bogor, 6 September 2011 - TBD :D

Ambisius memang, tapi menyenangkan in general. I love the travelling part, even love it more than the destinations theirselves. So, the longer the trip, more legs included, more fun it will be. Hopefully this one also.

So, stay tune for the stories and pictures.

Kamis, 11 Agustus 2011

Anies Baswedan Mencetak Pemimpin

[Note: search artikel dan transkrip wawancara ini di internet tidak ketemu, jadi mudah2an tidak salah kalau saya copas dari milis TANDEF. Thanks to Nurkholisoh Ibnu Aman yang telah men-share di milis.]

***

U Magazine, Mei 2011

Anies Baswedan Mencetak Pemimpin

AKHIR April lalu, Aula Profesor Soedarto di Universitas Diponegoro, Semarang, sesak melampaui daya tampungnya. Sekitar seribu enam ratus anak muda sudi berimpitan demi mendengar pidato Anies Rasyid Baswedan.

Intisari seluruh pidato itu mengajak kaum muda agar mau "hidup susah": pergi ke pelosok-pelosok Indonesia, hidup tanpa listrik, bahkan tanpa air "apalagi sinyal telepon"selama setahun penuh.

Semua yang dia sampaikan adalah bagian dari program Gerakan Indonesia Mengajar yang digagas Anies sejak 2009. Bersama timnya, rektor termuda Indonesia ini mendatangi kampus-kampus di seluruh Indonesia.

Dia merekrut para lulusan terbaik untuk menjadi guru selama setahun di desa-desa Indonesia yang jauh dan terpencil. Untuk angkatan ketiga tahun ini, sudah seribu enam ratus orang melamar. "This is beyond our expectation," kata Anies.

Senang karena bisa menularkan optimisme kepada banyak anak muda melalui Indonesia Mengajar, Anies mengaku belajar optimistis dari para pendiri negeri ini. Termasuk dari kakeknya sendiri, Abdurrahman (A.R.) Baswedan, mantan anggota Konstituante dan Menteri Penerangan zaman Sukarno.


****

Lahir di Kuningan, Jawa Barat, 7 Mei 1969, dia tumbuh di rumah sang eyang di Jalan Dagen, Yogyakarta. Ayahnya, Rasyid Baswedan, pernah menjadi Wakil Rektor Universitas Islam Indonesia, dan ibunya, Aliyah Rasyid, guru besar Universitas Negeri Yogyakarta.

Lingkungan serba akademis adalah dunia yang dia kenal sejak kanak-kanak. Dan dunia akademi pulalah yang menyertai dia, praktis sepanjang hidupnya.

Lulus Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada pada 1995, Anies meraih beasiswa Fulbright untuk pendidikan master bidang Keamanan Internasional dan Kebijakan Ekonomi University of Maryland, College Park, Amerika Serikat. Program doktor dia tunaikan di Departemen Ilmu Politik Universitas Northern Illinois.

Kembali ke Tanah Air, Anies dilantik menjadi Rektor Universitas Paramadina pada 2007. Aneka peluang terbentang di hadapannya dari pendidikan hingga "menyerempet" politik.

Dialah moderator debat calon Presiden dan Wakil Presiden RI di televisi pada 2009. Berpola tutur santun dan berbahasa jernih-tertata membuat Anies kian luas dikenal di dalam negeri maupun di latar internasional.

Majalah Foreign Policy memasukkan namanya dalam daftar 100 intelektual publik dunia pada 2008 (bersanding antara lain dengan Noam Chomsky, Al Gore, Muhammad Yunus, dan Amartya Sen).

World Economic Forum di Davos menunjuk dia sebagai salah satu Young Global Leaders pada 2009. Dan majalah Foresight di Jepang memilihnya sebagai satu dari 20 tokoh pembawa perubahan dunia 20 tahun mendatang, bersama antara lain Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin, Presiden Venezuela Hugo Chavez, serta anggota parlemen dan Sekretaris Jenderal Indian National Congress Rahul Gandhi.

Anies mengaku rileks menanggapi aneka penghargaan itu. Karena, "Saya tak pernah mencari atau mengajukan diri untuk penghargaan apa pun," ujarnya. Dan, "Energi akan habis untuk menjaga citra," dia meneruskan sembari tertawa, bila penghargaan dipandang sebagai beban.

*****

Wartawan U-Mag Hermien Y. Kleden dan Andari Karina Anom, serta fotografer Ijar Karim, mewawancarainya dalam dua kesempatan: di kantor Gerakan Indonesia Mengajar di Kebayoran Baru, dan di rumahnya di Pondok Labu, Jakarta Selatan.

Pertanyaan tentang pendidikan dan politik dia ladeni dengan serius, sedangkan hal-hal pribadi dijawab Anies dengan rileks, senyum lebar, dan diselingi tawa berderai.

Berikut ini petikannya.


U Magazine (U) :
Apa yang membuat Anda yakin Gerakan Indonesia Mengajar bisa berhasil?

Anies Baswedan (ABW) :
Kapan pun kita bicara Indonesi "dari hotel bintang lima hingga warteg" isinya keluhan dan daftar kegagalan melulu. Ketika republik ini merdeka, populasi buta hurufnya 95 persen. Para founder (kita) punya semua persyaratan untuk pesimistis: keterbelakangan dan kemiskinan.

Nyatanya, mereka optimistis. Optimism is contagious. Jadi jangan hanya mengeluh, tapi tak mau terlibat. Hari ini kita punya banyak persyaratan optimistis. Salah satunya lewat anak-anak muda pengajar (dalam Gerakan Indonesia Mengajar).

U : Punya ide menularkan optimisme?

ABW :
Kalau kita tanya apa kekayaan Indonesia, hampir pasti orang menjawab laut, gas, bahan tambang, dan sejenisnya. Mimpi saya, suatu saat nanti jawabannya adalah people!

Manusia menjadi aset jika mereka cerdas, salah satunya lewat pendidikan. Dan mendidik adalah tanggung jawab tiap orang. Yang penting go out and do something.


U : Bagaimana meyakinkan anak-anak muda itu agar mau ke pelosok?

ABW :
Mereka sebenarnya bukan tak mau menjadi guru, melainkan tak mau jadi guru seumur hidup. Profesi guru selalu diasumsikan seumur hidup. Kalau begitu, waktunya dibikin pendek, satu tahun. Attract the best menjadi guru setahun, lalu ganti yang lain.

Ini bukan hal baru. Pada 1952, selama sepuluh tahun ada 1.400 anak muda republik ini dikirim ke 161 kabupaten di seluruh Indonesia untuk mengajar selama dua tahun.


U ; Impresif betul. Apa bisa diterapkan di masa kini?

ABW:
Insya Allah bisa. Program ini bukan untuk mengisi kekurangan guru, melainkan mengajak anak-anak terbaik (Indonesia) hidup bersama rakyat selama setahun. Tujuannya? To create future leaders with world class competence and grass root experience.

Kebanyakan anak-anak itu tahu London dan New York, tapi tidak tahu Halmahera dan Tulangbawang. Kami ingin memberi kesempatan pada anak-anak yang punya kompetensi world class untuk mengenal daerah pedesaan Indonesia.

U : Apa yang bisa dihasilkan dari proses ini?

ABW:
Anak-anak muda Indonesia yang berbeda. Bukan hanya satu orang, tapi satu generasi. Mereka kelak akan menjadi diplomat, CEO, politikus, jurnalis, apa saja. Tapi mereka bisa berkata dengan  penuh kebanggaan: "I have served my nation."

Selama ini yang bisa bilang begitu hanya orang-orang berseragam. Jadi (Gerakan Indonesia Mengajar) bukan soal mengajar, melainkan menjadi one of the suppliers for future leaders in Indonesia.

U : Jangan-jangan banyak anak muda tertarik bergabung karena pendekatan Anda, dan bukan karena programnya?

ABW :
Bukan karena saya, melainkan karena semua yang terlibat. Itu sebabnya, kami menyebutnya Gerakan Indonesia Mengajar. Ini satu gerakan sosial untuk pendidikan. Kata-kata Bung Hatta "yang menjadi slogan kami," mendidik adalah memimpin. Itu yang kami sampaikan kepada anak-anak muda itu.

U : Jadi ini soal komunikasi?

ABW :
Banyak hal baik dan mulia di negeri ini yang tak dikomunikasikan dengan baik. Misalnya, mau jadi dokter PTT (pegawai tidak tetap), skemanya seperti hukuman. Kalau dekat kota waktunya 2 tahun, agak jauh 1 tahun, di pelosok 6 bulan.

Mereka menghindar dikirim ke pelosok karena program ini dilihat seperti hukuman, bukan suatu kehormatan. Padahal mengobati anak sakit, lalu melihat kebahagiaan terpancar di mata ibunya, adalah kehormatan, entah di kota atau pelosok. Ini yang saya tekankan di Indonesia Mengajar.

U : Bagaimana respons terhadap Indonesia Mengajar pada tahun ketiga ini?

ABW :
Terus terang saya agak kaget—karena melebihi yang kami bayangkan. Anak-anak berlomba-lomba mendaftar, bukan untuk tinggal di tempat ber-AC dan mobil mewah, melainkan di pelosok tanpa listrik. Kemarin kami bikin acara di Semarang, yang hadir 1.600-an orang.

Selama ini kita sering dengar tentang remaja yang bermasalah ini dan itu, padahal banyak juga yang berniat baik. They are willing to serve.

U : Bisa beri contoh?

ABW :
Ada anak yang baru mengajar satu bulan, mendapat panggilan dari Boston Consulting Group. Dia sempat dilema, mau pilih yang mana. Ternyata dia memutuskan menolak Boston. Wah.... Kalau menolak Boston, lalu memilih McKinsey, okelah. Tapi ini pilihannya mengajar di kampung.

Padahal lokasi mengajarnya di Passer, Kalimantan Timur, yang amat berat, karena di sana mereka tak menghargai pendidikan. Oh my God! Hal-hal seperti ini membuat kita punya alasan untuk tetap optimistis.

U : Boleh tahu Anda ini memposisikan diri seperti apa?

ABW : Bagi saya, yang penting bukan posisi, melainkan peran. Aktor Deddy Mizwar, ketika jadi raja atau pengemis, (perannya) sama-sama mengesankan.

U : Maksudnya?

ABW :
Saya ingin menjalankan peran dengan baik. Tapi saya tidak mengejar posisi tertentu. Saya tidak mengejar menjadi Rektor (Universitas Paramadina). Ketika dilantik menjadi rektor pada 2007, saya bilang: I didn't fight for this position, but I will fight to do the job.

U : Posisi apa yang tak ingin Anda kejar?

ABW :
Any position.

U : Even for president?

ABW :
Even for president. Yang penting kita bisa menginspirasi orang, apa pun posisinya. Tapi harus dibedakan antara siap dan ingin. Kalau ditanya, are you ready? Yes I am. Tapi apakah saya ingin? Itu soal lain. Di republik ini, kita oversupply dengan orang yang ingin, padahal belum tentu siap.

U : Apa prioritas Anda sekarang: bidang pendidikan atau...?

ABW :
Saya tidak pernah merencanakan menjadi apa pun. Dalam perjalanan hidup saya, banyak yang terjadi tanpa saya rencanakan. Ia datang begitu saja, dan kalau kita tidak siap, akan lewat.

Intinya, seperti kata dramawan Stanislavski: empower yourself, be able to contribute a lot, then opportunity will come.

U : Sejumlah orang menyebut Anda safety player, karena tak pernah mengambil posisi berseberangan dengan siapa pun. Ada komentar?

ABW :
Karena tak berada di partai, tak ada keputusan politik yang membuat saya berbeda. Tapi bukan karena saya menghindar atau takut untuk berbeda. Not at all. Perbedaan bukan barang baru bagi saya.

Tapi harus dengan cara berwibawa, seperti dicontohkan para pejuang kita. Mereka berdebat terbuka, tapi tetap akrab. Apakah keakraban Pak Natsir dengan Pak Kasimo dianggap safety playing?

Berbeda tak harus mengambil jarak. Tradisi inilah yang harus kita hidupkan kembali. Harus dibedakan antara safety player dan being able to communicate to everyone.

U : Cukup kuatkah Anda bila mesti beralih dari pendidikan ke dunia politik yang jauh lebih keras?

ABW :
Kekuatan itu proses. Tak bisa mendadak. Kita sering mengasosiasikan sikap tegas dengan kasar, karena kita sering ketemu ketegasan dengan pendekatan militer. Padahal (para founder negara kita) adalah orang-orang tegas tapi ekspresinya amat santun dan tanpa kekerasan.

Saya membayangkan orang bisa berbeda tanpa saling mengintimidasi, tanpa kekerasan. Saya tidak bisa mengatakan saya kuat, itu proses,makin dibenturkan makin tangguh.

U : Anda merasa punya modal untuk ke politik?

ABW :
Tadi malam saya berdiskusi tentang trust. Rumus trust adalah: competency + integrity+ intimacy - self interest. Meski (memiliki) competency, integrity, dan intimacy, seseorang bisa drop kalau self interest-nya terlalu banyak.

Banyak pemimpin di Indonesia yang terlalu besar self interest-nya, sementara para pendiri bangsa kita adalah orang-orang sudah selesai dengan diri sendiri. Mereka tak lagi bicara apa yang saya dapat dari sini. Kita kini kekurangan orang yang sudah selesai dengan dirinya.


U : Sejumlah penghargaan internasional yang Anda terima, apakah terasa membebani?

ABW :
Biasa saja karena saya tidak pernah meminta atau mengajukan diri untuk mendapatkannya. I take it easy, tidak merasa terbebani. Kalau itu dijadikan beban, energi saya bisa habis hanya untuk menjaga citra. Jadi jalani saja, biarkan orang menilai.

*****

ANIES baru berumur tujuh tahun saat ia dikeroyok sekelompok anak sebayanya. Ibunya melintas dan melihat kejadian itu. Alih-alih turun tangan, sang ibu malah terus memacu sepeda motor dan pulang. Sampai di rumah, ibunya menangis, dan seorang budenya bertanya: kenapa. "Itu si Anies dikeroyok orang."

"Lho, kok tidak ditolong," kata si bude. "Biar dia menghadapi sendiri, biar dia belajar."

Sang bude menceritakan kejadian itu setelah Anies dewasa. Anies mengaku tak ingat kejadian itu tapi dia amat terkesan oleh cara ibunya mendidik: karena melihat situasinya terukur, dia tak menolong anaknya, walau sebenarnya amat sedih.

Sang ayah juga setali tiga uang dalam mendidiknya. Pernah suatu ketika di masa SMP, Anies disetop polisi karena membawa sepeda motor tanpa SIM. Anies pulang, mengadu kepada bapaknya. Sang ayah kemudian mengantarnya ke kantor polisi. tapi meminta anaknya menyelesaikan sendirian semua urusan dengan polisi.

Anies mengaku beruntung tidak tumbuh dalam kemanjaan, dia dididik dengan tegas. "Saya amat bersyukur dibesarkan oleh keluarga seperti itu," katanya.

*****

U : Sejak dulukah Anda berniat jadi pendidik?

ABW :
I am very much blessed dibesarkan oleh kakek-nenek dan orang tua yang baik. Apa pun yang Anda lihat pada diri saya sekarang adalah cermin dari pahala mereka. Tapi kami tidak pernah dididik untuk menjadi guru.

Saya datang dari keluarga aktivis. Rumah kami adalah home of the activist. Sehari-hari yang saya lihat adalah diskusi dan perdebatan keras tentang aneka topik: dari masyarakat sampai negara.

U : Anda paham apa yang mereka bicarakan?

ABW :
Of course not, I was just standing there and listening. Tapi saya bersyukur tumbuh di lingkungan amat dinamis dan penuh diskusi.

U : Kami dengar Anda sebenarnya ingin jadi musisi?

ABW :
Ceritanya begini, waktu kecil, saya selalu menonton drum band 17 Agustus-an di Jalan Malioboro. Yang main anak-anak Akademi Angkatan Udara. Keren sekali mereka. Saya terkagum-kagum. That's my hero. Saya mau seperti mereka kalau sudah gede nanti.

Minggu lalu saya datang ke HUT Angkatan Udara di Halim, saya bilang ke anak saya, "Dulu Bapak ingin seperti itu." Tapi sampai sekarang saya bahkan tidak bisa main musik, ha-ha-ha.

U : Apa kesenangan di masa kecil?

ABW :
Waktu SD, saya sering naik sepeda ke perpustakaan Kedaulatan Rakyat, pinjam buku-buku. Saya senang baca buku biografi. Hampir semua tokoh yang saya baca lahir dan besar di Bukittinggi, seperti Hatta, Sjahrir
dan Sjafruddin.

Saya kemudian pergi ke sana karena ingin melihat seperti apa Jam Gadang, Koto Gadang, Ngarai Sianok di Kota Bukittinggi. Saya ingin tahu mengapa kota ini menghasilkan banyak orang besar.

U : Bagaimana kedekatan dengan Kakek A.R. Baswedan?

ABW :
Waktu kelas III atau IV SD, saya rutin mengetik surat-surat kakek saya. Di akhir surat, dia selalu bilang: surat ini saya diktekan dan diketik oleh cucu saya, Anies.

Saya amat bangga, walaupun saya tahu itu juga caranya untuk bilang keorang: there are many mistakes here. Ha-ha-ha... biasanya, setelah saya ketik, surat dia koreksi lagi dengan dicorat- coret. Setelah itu saya yang mengirim ke kantor pos.

U : Seperti apa Anda mendidik anak- anak di rumah?

ABW :
Situasinya sekarang berbeda. Kalau lagi libur, orang secara sadar terpaksa pergi ke tempat yang gampang, misalnya mal. Kami sering ke museum dan sering menjadi satu-satunya pengunjung. Anak sulung saya Tia --kini 13 tahun-- memilih liburan seminggu lebih di sebuah desa di Majene, Sulawesi Barat.

U : Anda mengarahkan pilihan itu?

ABW :
Ada beberapa pilihan, tapi itu (ke Majene) kemauan dia sendiri—dan bisa melatih dia hidup bersahaja. Saya berusaha mendekatkan anak dengan kehidupan sehari-hari. Kakek-nenek dan orang tua saya terpelajar, tapi bukan orang kaya. We live a very decent life, dan saya menerapkan hal itu ke anak-anak.

U : Umpamanya?

ABW :
Kalau ke sekolah (di Al-Izhar Pondok Labu)—anak saya diantar sepeda motor. Sedangkan semua temannya diantar mobil. Dia termasuk tiga orang di kelasnya yang tak pakai BlackBerry. Baru minggu lalu dia dapat, bekas (milik) istri saya.

U : Rupanya Anda tidak suka bermewah-mewah?

ABW :
Anda tahu saya beli baju ini di mana? (Anies memegang kemeja birunya.) Ini dari Pasar Ular. Itu pasar yang saya datangi sejak masih kuliah, so what?

Semua dasi saya beli di Yogya, harganya sepuluh ribu per dasi. Ini dasi bekas dari Jepang, diperbaiki sedikit dan jadi bagus lagi. Kenapa mesti beli yang mahal? Kita membeli barang karena fungsi, bukan karena mahal.

U : Apakah anak-anak Anda bisa terima hal ini?

ABW :
Pernah ada cerita lucu. Anak saya nomor dua, Kaisar, saya belikan sepatu di Pasar Ular. Itu sebenarnya asli. Tapi, kalau kelebihan produksi dan ada cacat, pasti dilempar ke secondary market. Lalu Kaisar bilang: my friend has the real one, ha-ha-ha...

Pernah dia mengeluh karena sepatu bola yang dibeli di Pasar Rumput solnya mudah copot. Saya bilang, itu bukan karena Pasar Rumputnya, melainkan lantaran tidak dijahit. Begitu sol dijahit, selesai persoalan, sepatu jadi tahan lama. Saya ingin mengajar anak-anak membeli sesuatu karena fungsinya, bukan karena itu mahal.

U : Jadi Anda tidak pernah membawa anak ke mal?

ABW :
Tentu pernah. Kami tidak mendorong gerakan anti-mal. Kadang-kadang mereka melihat sesuatu di mal, lalu memintanya sebagai hadiah ulang tahun. Oke, kami menunggu sampai ulang tahun, dan membelikannya. Tapi saya mau mengajari anak-anak menikmati apa saja, dan tidak harus di mal.

*****

SEORANG teman di sekolah menengah sekali waktu bertanya kepada Anies, benarkah dia tak punya pacar di masa SMA? Si teman kemudian meneruskan penelusurannya kepada kawan-kawan mereka, mencari "saksi" yang tahu pacar Anies di masa sekolah. Ramai mereka membahas, dan hasilnya: tak ada yang ditaksir Anies.

Begitulah. Meski dikerubungi sejumlah fan wanit, "banyak yang diam-diam mengirim surat cinta" Anies memilih sendirian di masa SMA dan kuliah. Dia mengaku banyak berkonsultasi kepada ibu dan neneknya tentang wanita. "Saya tak mau membuat wanita berharap-harap, lalu menjatuhkan harapan itu," katanya.

Selain itu, ujarnya, "Saya agak sombong sedikit kalau memilih pasangan, ha-ha-ha..."

Dia mengaku "kena batunya" saat nyaris ditolak Ferry Farhati, sepupu yang kemudian menjadi istrinya. Kesibukan Anies yang tiada henti sempat membuat Ferry cemas sang kekasih kelak tak punya waktu untuk keluarga. Semasa pacaran, mereka jarang bersama- sama. "Bukan karena tak mau, tapi tak sempat," kata Anies.

Kini, keduanya telah dikaruniai empat buah hati: Mutiara Annisa, 13 tahun, Mikail Azizi (10), Kaisar Hakam (5), dan Ismail Hakim (2). Keluarga ini menempati sebuah rumah serba hijau dan ramai dengan cuitan burung di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan.

Di halaman belakang dipasang dua ayunan dan dua tempat bergelantung seperti yang dipakai pesenam anak-anak. Bahkan ayah-ibu keempat anak ini bebas bergelayutan di pohon dan berlarian di rumput. "Walau tinggal di Jakarta, saya tetap ingin menciptakan suasana kampung," tutur Anies.

Dia memamerkan burung beo, cucakrawa, dan anis (ya, ada burung dengan nama serupa pemiliknya), yang riuh berkicau di taman belakang. Sang beo sesekali merepet: How are you, nggolek bojo ayu, seakan mencerminkan pemiliknya yang berbahasa Jawa dan Inggris.


*****

U : Banyak yang sudah Anda peroleh: prestasi, kepandaian, keluarga bahagia. Jadi apa yang kurang?

ABW :
Kalau saya merasa my life is full, there is no more space to grow. Pertanyaan itu kalau dibalik menjadi: what I have only this and this. Banyak yang belum saya capai, seperti ide, yang saya selalu merasa belum cukup. Tapi saya merasa bersyukur karena selalu ada keinginan untuk tumbuh.

U : Kira-kira godaan apa yang tak bisa Anda tolak?

ABW :
When people around you are no longer able to be truthful. Saya sering khawatir banyak pemimpin yang berjarak dari kenyataan, dari problem masyarakat. Saya khawatir kalau saya tanpa sadar berjarak.

Ada pelayan kantor dan satpam, yang sebenarnya hanya berbeda karena fungsi, tapi tanpa sadar kita berjarak dengan mereka. Ini yang sering saya khawatirkan.

U : Bagaimana dengan uang, harta, atau perempuan?

ABW :
Kalau soal perempuan, silakan tanya teman-teman saya di sekolah menengah tentang Anies girlfriend. Jawabannya pasti tidak ada. Minggu lalu, saya syuting di TV One, kebetulan produsernya teman SMA saya. Dia bilang: Nies, kowe tenanan ora nduwe wedhok (dari bahasa Jawa, Nies, benar kamu tidak punya pacar, Red.) di SMA?


U : Benar nih enggak ada?

ABW :
Kalau ditanya, apakah saya tak tertarik pada seseorang waktu itu? Come on, tentu saja ada. But if I am able to control people who are approaching me, I feel: yes, I win! Ha-ha-ha....

Selain itu, saya amat berhati-hati di urusan yang satu ini. Saya sering ngobrol dengan ibu atau nenek. Mereka bilang, menunjuk contoh, itu perempuan baru ditinggal pacarnya atau bercerai dari suaminya. Maka saya tak mau bermain-main.

U : Kabarnya banyak dapat surat cinta dari para fan.

ABW :
Ini agak membanggakan diri. Well, I was rather popular in high school. Saat itu saya mengisi acara Tanah Air di TVRI Yogya, banyak surat dari fan.

Tidak saya tanggapi karena ibu saya yang banyak memberi petunjuk soal perempuan. Lalu saya ke Amerika ikut program pertukaran pelajar AFS (American Field Service) selama setahun.

U : Jadi Anda "akhirnya" jatuh cinta ke Ferry, sepupu Anda?

ABW :
When I decide to marry someone,I think about the atmosphere of family I would like to have. Of course she has to be beautiful, smart, and understands the challenge we face.

Saya lihat semua itu ada di Ferry. Memang tidak mudah, karena waktu saya habis mengurusi macam-macam. Tanya sama Ferry, kapan kami pacaran. Nyaris enggak sempat. Untungnya dia bersedia. Saya amat bersyukur dengan adanya Ferry dan anak-anak.

U : Dan awalnya Ferry sempat menolak Anda?

ABW :
Ha-ha-ha...iya tuh, berani-beraninya dia nolak Anies.

U : Kalau bepergian, oleh-oleh apa yang Anda bawakan untuk Ferry selain buku?

ABW :
Biasanya buku memang, terutama buku parenting, karena dia psikolog spesialis keluarga dan parenting. Tapi saya juga sering kasih oleh-oleh bros atau kalung, terutama kalau dari tempat unik, misalnya dari Zanzibar. [ ]


Rabu, 10 Agustus 2011

Jakarta Lawyers Club (JLC)

For me, it sounds like Jakarta Losers Club and will not go any further than Parni Hadi's [sorry Sir :)] Karni Ilyas' intellectual masturbation, cheered by his gang. Crap!

I wish I'm wrong and hopefully there something real come out from that TV show, aired at Bakrie's TV One (http://id.wikipedia.org/wiki/TvOne, the official website www.tvonenews.tv is still inactive, reported being hacked).

Kenapa Nazaruddin kabur ke Kolombia?

Kalau kata gw sih, doi mengira dia mirip Juan Pablo Montoya. Mari kita bandingkan!

Nama Lengkap:
MUHAMMAD NAZARUDDIN
Tempat & Tanggal Lahir:
Bangun , 26 Agustus 1978
Nama Istri:
Neneng Sri Wahyuni
Jumlah Anak:
2

Full Name:
Juan Pablo Montoya Roldan
Birthdate:
Sept. 20, 1975
Hometown:
Bogota, Colombia
Resides:
Miami, Fla.
Wife:
Connie 
Children:
Sebastian, Paulina & Manuela 


Mirip ndak? Lumayanlah :D.



Senin, 11 Juli 2011

cinta

cinta itu harus dijaga,
kalau ingin kekal selamanya

cinta itu harus dipupuk,
kalau ingin tumbuh berkembang

cinta itu buta,
jadi harus dituntun ke arah yang benar

cinta itu kadang menyakitkan,
jadi harus siap-siap

Senin, 04 Juli 2011

ke PRJ aku tak akan kembali......

Tinggal di Jakarta dari tahun 2000-2007, lalu pindah ke Bogor sampai sekarang, 2011. Tapi belum sekalipun ke PRJ, alias Jakarta Fair. Tahun ini juga ga rencana, tapi, hari Sabtu tanggal 2 Juli pas nyamper ponakan yang lagi prajab di Pusdiklat Kemenperin, dia ngajakin ke PRJ. OK, inilah saatnya, pikirku. Setelah lebih dari 10 tahun di Jabotabek, masa ga pernah sama sekali lihat seperti apa PRJ yang selalu bikin heboh tiap tahun.

Well, langkah pertama...cari info how to get there. Tanya teman les yang ngaku rumahnya daerah Kemayoran dekat Gambir Expo, arena PRJ selama beberapa tahun terakhir, ternyata tidak banyak menolong. Lalu masuklah kami ke halte bus Trans Jakarta (busway) depan LIPI (official bus stop name: Gatot Subroto LIPI). Dari petugas halte dapat informasi yang sangat berharga, kalau dari balaikota (area Monas) ada bis langsung ke PRJ.

Dengan busway kami menuju balaikota. Naik busway koridor 9, satu halte saja ke Semanggi, lalu jalan melewati jembatan transit yang super panjang untuk bisa naik bis koridor 1 menuju Harmoni. Dari Harmoni, nyambung lagi naik bis menuju Pulogadung dan turun di halte Balaikota. Belakangan baru tahun kalau sebetulnya bisa ganti di halte Monas ternyata.

Ternyata, bisnya rebutan, tidak teratur. Katanya sih yang ngatur sudah pulang, padahal yang mau naik masih banyak dan baru sekitar jam 18:30. Untungnya, dapat juga tempat berdiri, empat orang terakhir yang diperbolehkan masuk ke bis. Perjalanan lumayan lancar, tapi begitu sampai arena PRJ, baru terlihat semrawutnya. Mobil-mobil parkir di jalan, angkot dan metromini ngetem, taksi-taksi yang ngatur preman, jadilan mobil merayap hanya untuk menurunkan penumpang.

Di loket pembelian tiket keramaian mulai terasa. Tiap loket melayani dua baris. Ramai, tapi masih cukup tertib. Di dalam, sudah cukup ramai, maklum malam Minggu. Karena perut sudah lapar, jadi kami cari tempat makan dulu. Setelah melihat-lihat sejenak, akhirnya pilihan jatuh pada Bakso Lapangan Tembak di area food court. Sayang, pilihan menunya agak terbatas. Jadi, hanya pesan mie bakso dan nasi goreng.

Giliran mau duduk, susahnya minta ampun. Untung, mbak2nya sigap mencarikan, walaupun harus share meja dengan keluarga lain. Benar-benar tidak nyaman. Dan rasa makanannya, ampun. Gak tega mendeskripsikannya. Untung lagi lapar, jadi lahap2 aja.

Setelah makan baru kami mulai berputar-putar, dari toko ke toko, dari stand ke stand. Semakin malam, semakin penuh sesak, berubah menjadi pasar senggol. Yang menarik perhatian kami akhirnya adalah stand Cadburry, yang menawarkan discount untuk pembelian produk-produknya. Tapi, antriannya, puanjang. Sempat ada yang kecopetan segala, padahal di dalam ruangan yang terang benderang. Copet yang hebat, dan nekad.

Jam 21:00, kami memutuskan untuk segera meninggalkan arena PRJ.... dan seperti judul diatas, ga akan lagi-lagi datang ke PRJ. In my opinion, it just a waste.

Sebetulnya ada potensi untuk menjadi arena Pekan Raya yang lebih baik, jika dikelola lebih serius. Jumlah peserta tidak usah terlalu banyak, tapi produk-produknya lebih unik. Bukan hanya memindahkan mall atau ITC ke satu tempat. Kalau peserta tidak terlalu banyak, akan lebih banyak ruang untuk jalan sehingga terasa lebih nyaman.

Untuk transportasi, harusnya lebih banyak shuttle bus dari berbagai titik-titik strategis, sehingga mobil pribadi berkurang. Harusnya malah disterilkan dari parkir mobil pribadi dalam radius tertentu.

Sekali lagi.... ga lagi-lagi deh ke PRJ kalau pengelolaannya masih gitu-gitu aja. Kuapok, pok...

bad day

Tu kan, jadi curhat.....

Dari pagi emang udah ga enak. Terpaksa bangun seperti biasa, 'diasapin' sama tetangga sebelah yang manasin mobil dengan knalpot mengarah ke rumahku. Masuk semua deh tu asap, mana selalu ditinggal (mungkin mandi atau siap-siap untuk berangkat kerja). Harusnya, bisa bangun jam 6 baru siap-siap, lumayan ada tambahan tidur 15-20 menit. Bikin sarapan roti isi meses Ceres, sama bikin hot chocolate.

Perjalanan ke kantor lumayan. Bisa ngejar kereta jam 6.48 ke Cilebut. Hari kedua ujicoba tarif tunggal KRL Commuter Line berjalan lumayan. Jam 7:39 sudah sampai Cawang. Naik ke halte bus Trans Jakarta yang ternyata antri cukup panjang di loket pembelian tiket, namun cukup lancar. Beberapa bis berlalu sampai akhirnya dapat tiket, dan.... voila, dapat bis yang masih kosong. Lumayan, bisa istirahatin betis setelah hampir satu jam berdiri di KRL. Syukur-syukur kalau bisa tidur sebentar. Sayangnya, saat sempat terlelap, dua kali lutut saya ditabrak tanpa  permintaan maaf, merasa bersalah saja tidak. Sabar, sabarrr... dan akhirnya sampai dikantor dan clock-in jam 8:42.

[pause...harus beresin report bulanan. Jadi basi deh curhatannya, harusnya di-post 1 Juli, jadinya baru lanjut lagi hari Senin tanggal 4 Juli.]

Seharian dihabiskan untuk menyelesaikan laporan bulanan. Sempat ada insiden sama teman kantor sebelum makan siang. jadi bikin harinya makin buruk. Yang sedikit menghibur, ada pizza gratisan dari yang lagi ulang tahun.

Alhamdulillah, report bisa di-submit lebih awal, jadinya bisa tenang selama weekend.

Jumat, 01 Juli 2011

lazy blogger

Hwaaaa, aseli, malas banget banget nulis di blog, masa dari 2007 cuma ada dua postingan. Itupun satu postingan ga ada intinya. Padahal banyak sih tulisan-tulisan berserakan dimana-mana. Otak juga penuh dengan ide, tapi ga pernah dituangkan secara sistematis. Hmmm, pengen nyoba rajin ah.