[Note: search artikel dan transkrip wawancara ini di internet tidak ketemu, jadi mudah2an tidak salah kalau saya copas dari milis TANDEF. Thanks to Nurkholisoh Ibnu Aman yang telah men-share di milis.]
***
U Magazine, Mei 2011
Anies Baswedan Mencetak Pemimpin
AKHIR April lalu, Aula Profesor Soedarto di Universitas Diponegoro, Semarang, sesak melampaui daya tampungnya. Sekitar seribu enam ratus anak muda sudi berimpitan demi mendengar pidato Anies Rasyid Baswedan.
Intisari seluruh pidato itu mengajak kaum muda agar mau "hidup susah": pergi ke pelosok-pelosok Indonesia, hidup tanpa listrik, bahkan tanpa air "apalagi sinyal telepon"selama setahun penuh.
Semua yang dia sampaikan adalah bagian dari program Gerakan Indonesia Mengajar yang digagas Anies sejak 2009. Bersama timnya, rektor termuda Indonesia ini mendatangi kampus-kampus di seluruh Indonesia.
Dia merekrut para lulusan terbaik untuk menjadi guru selama setahun di desa-desa Indonesia yang jauh dan terpencil. Untuk angkatan ketiga tahun ini, sudah seribu enam ratus orang melamar. "This is beyond our expectation," kata Anies.
Senang karena bisa menularkan optimisme kepada banyak anak muda melalui Indonesia Mengajar, Anies mengaku belajar optimistis dari para pendiri negeri ini. Termasuk dari kakeknya sendiri, Abdurrahman (A.R.) Baswedan, mantan anggota Konstituante dan Menteri Penerangan zaman Sukarno.
****
Lahir di Kuningan, Jawa Barat, 7 Mei 1969, dia tumbuh di rumah sang eyang di Jalan Dagen, Yogyakarta. Ayahnya, Rasyid Baswedan, pernah menjadi Wakil Rektor Universitas Islam Indonesia, dan ibunya, Aliyah Rasyid, guru besar Universitas Negeri Yogyakarta.
Lingkungan serba akademis adalah dunia yang dia kenal sejak kanak-kanak. Dan dunia akademi pulalah yang menyertai dia, praktis sepanjang hidupnya.
Lulus Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada pada 1995, Anies meraih beasiswa Fulbright untuk pendidikan master bidang Keamanan Internasional dan Kebijakan Ekonomi University of Maryland, College Park, Amerika Serikat. Program doktor dia tunaikan di Departemen Ilmu Politik Universitas Northern Illinois.
Kembali ke Tanah Air, Anies dilantik menjadi Rektor Universitas Paramadina pada 2007. Aneka peluang terbentang di hadapannya dari pendidikan hingga "menyerempet" politik.
Dialah moderator debat calon Presiden dan Wakil Presiden RI di televisi pada 2009. Berpola tutur santun dan berbahasa jernih-tertata membuat Anies kian luas dikenal di dalam negeri maupun di latar internasional.
Majalah Foreign Policy memasukkan namanya dalam daftar 100 intelektual publik dunia pada 2008 (bersanding antara lain dengan Noam Chomsky, Al Gore, Muhammad Yunus, dan Amartya Sen).
World Economic Forum di Davos menunjuk dia sebagai salah satu Young Global Leaders pada 2009. Dan majalah Foresight di Jepang memilihnya sebagai satu dari 20 tokoh pembawa perubahan dunia 20 tahun mendatang, bersama antara lain Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin, Presiden Venezuela Hugo Chavez, serta anggota parlemen dan Sekretaris Jenderal Indian National Congress Rahul Gandhi.
Anies mengaku rileks menanggapi aneka penghargaan itu. Karena, "Saya tak pernah mencari atau mengajukan diri untuk penghargaan apa pun," ujarnya. Dan, "Energi akan habis untuk menjaga citra," dia meneruskan sembari tertawa, bila penghargaan dipandang sebagai beban.
*****
Wartawan U-Mag Hermien Y. Kleden dan Andari Karina Anom, serta fotografer Ijar Karim, mewawancarainya dalam dua kesempatan: di kantor Gerakan Indonesia Mengajar di Kebayoran Baru, dan di rumahnya di Pondok Labu, Jakarta Selatan.
Pertanyaan tentang pendidikan dan politik dia ladeni dengan serius, sedangkan hal-hal pribadi dijawab Anies dengan rileks, senyum lebar, dan diselingi tawa berderai.
Berikut ini petikannya.
U Magazine (U) :
Apa yang membuat Anda yakin Gerakan Indonesia Mengajar bisa berhasil?
Anies Baswedan (ABW) :
Kapan pun kita bicara Indonesi "dari hotel bintang lima hingga warteg" isinya keluhan dan daftar kegagalan melulu. Ketika republik ini merdeka, populasi buta hurufnya 95 persen. Para founder (kita) punya semua persyaratan untuk pesimistis: keterbelakangan dan kemiskinan.
Nyatanya, mereka optimistis. Optimism is contagious. Jadi jangan hanya mengeluh, tapi tak mau terlibat. Hari ini kita punya banyak persyaratan optimistis. Salah satunya lewat anak-anak muda pengajar (dalam Gerakan Indonesia Mengajar).
U : Punya ide menularkan optimisme?
ABW :
Kalau kita tanya apa kekayaan Indonesia, hampir pasti orang menjawab laut, gas, bahan tambang, dan sejenisnya. Mimpi saya, suatu saat nanti jawabannya adalah people!
Manusia menjadi aset jika mereka cerdas, salah satunya lewat pendidikan. Dan mendidik adalah tanggung jawab tiap orang. Yang penting go out and do something.
U : Bagaimana meyakinkan anak-anak muda itu agar mau ke pelosok?
ABW :
Mereka sebenarnya bukan tak mau menjadi guru, melainkan tak mau jadi guru seumur hidup. Profesi guru selalu diasumsikan seumur hidup. Kalau begitu, waktunya dibikin pendek, satu tahun. Attract the best menjadi guru setahun, lalu ganti yang lain.
Ini bukan hal baru. Pada 1952, selama sepuluh tahun ada 1.400 anak muda republik ini dikirim ke 161 kabupaten di seluruh Indonesia untuk mengajar selama dua tahun.
U ; Impresif betul. Apa bisa diterapkan di masa kini?
ABW:
Insya Allah bisa. Program ini bukan untuk mengisi kekurangan guru, melainkan mengajak anak-anak terbaik (Indonesia) hidup bersama rakyat selama setahun. Tujuannya? To create future leaders with world class competence and grass root experience.
Kebanyakan anak-anak itu tahu London dan New York, tapi tidak tahu Halmahera dan Tulangbawang. Kami ingin memberi kesempatan pada anak-anak yang punya kompetensi world class untuk mengenal daerah pedesaan Indonesia.
U : Apa yang bisa dihasilkan dari proses ini?
ABW:
Anak-anak muda Indonesia yang berbeda. Bukan hanya satu orang, tapi satu generasi. Mereka kelak akan menjadi diplomat, CEO, politikus, jurnalis, apa saja. Tapi mereka bisa berkata dengan penuh kebanggaan: "I have served my nation."
Selama ini yang bisa bilang begitu hanya orang-orang berseragam. Jadi (Gerakan Indonesia Mengajar) bukan soal mengajar, melainkan menjadi one of the suppliers for future leaders in Indonesia.
U : Jangan-jangan banyak anak muda tertarik bergabung karena pendekatan Anda, dan bukan karena programnya?
ABW :
Bukan karena saya, melainkan karena semua yang terlibat. Itu sebabnya, kami menyebutnya Gerakan Indonesia Mengajar. Ini satu gerakan sosial untuk pendidikan. Kata-kata Bung Hatta "yang menjadi slogan kami," mendidik adalah memimpin. Itu yang kami sampaikan kepada anak-anak muda itu.
U : Jadi ini soal komunikasi?
ABW :
Banyak hal baik dan mulia di negeri ini yang tak dikomunikasikan dengan baik. Misalnya, mau jadi dokter PTT (pegawai tidak tetap), skemanya seperti hukuman. Kalau dekat kota waktunya 2 tahun, agak jauh 1 tahun, di pelosok 6 bulan.
Mereka menghindar dikirim ke pelosok karena program ini dilihat seperti hukuman, bukan suatu kehormatan. Padahal mengobati anak sakit, lalu melihat kebahagiaan terpancar di mata ibunya, adalah kehormatan, entah di kota atau pelosok. Ini yang saya tekankan di Indonesia Mengajar.
U : Bagaimana respons terhadap Indonesia Mengajar pada tahun ketiga ini?
ABW :
Terus terang saya agak kaget—karena melebihi yang kami bayangkan. Anak-anak berlomba-lomba mendaftar, bukan untuk tinggal di tempat ber-AC dan mobil mewah, melainkan di pelosok tanpa listrik. Kemarin kami bikin acara di Semarang, yang hadir 1.600-an orang.
Selama ini kita sering dengar tentang remaja yang bermasalah ini dan itu, padahal banyak juga yang berniat baik. They are willing to serve.
U : Bisa beri contoh?
ABW :
Ada anak yang baru mengajar satu bulan, mendapat panggilan dari Boston Consulting Group. Dia sempat dilema, mau pilih yang mana. Ternyata dia memutuskan menolak Boston. Wah.... Kalau menolak Boston, lalu memilih McKinsey, okelah. Tapi ini pilihannya mengajar di kampung.
Padahal lokasi mengajarnya di Passer, Kalimantan Timur, yang amat berat, karena di sana mereka tak menghargai pendidikan. Oh my God! Hal-hal seperti ini membuat kita punya alasan untuk tetap optimistis.
U : Boleh tahu Anda ini memposisikan diri seperti apa?
ABW : Bagi saya, yang penting bukan posisi, melainkan peran. Aktor Deddy Mizwar, ketika jadi raja atau pengemis, (perannya) sama-sama mengesankan.
U : Maksudnya?
ABW :
Saya ingin menjalankan peran dengan baik. Tapi saya tidak mengejar posisi tertentu. Saya tidak mengejar menjadi Rektor (Universitas Paramadina). Ketika dilantik menjadi rektor pada 2007, saya bilang: I didn't fight for this position, but I will fight to do the job.
U : Posisi apa yang tak ingin Anda kejar?
ABW :
Any position.
U : Even for president?
ABW :
Even for president. Yang penting kita bisa menginspirasi orang, apa pun posisinya. Tapi harus dibedakan antara siap dan ingin. Kalau ditanya, are you ready? Yes I am. Tapi apakah saya ingin? Itu soal lain. Di republik ini, kita oversupply dengan orang yang ingin, padahal belum tentu siap.
U : Apa prioritas Anda sekarang: bidang pendidikan atau...?
ABW :
Saya tidak pernah merencanakan menjadi apa pun. Dalam perjalanan hidup saya, banyak yang terjadi tanpa saya rencanakan. Ia datang begitu saja, dan kalau kita tidak siap, akan lewat.
Intinya, seperti kata dramawan Stanislavski: empower yourself, be able to contribute a lot, then opportunity will come.
U : Sejumlah orang menyebut Anda safety player, karena tak pernah mengambil posisi berseberangan dengan siapa pun. Ada komentar?
ABW :
Karena tak berada di partai, tak ada keputusan politik yang membuat saya berbeda. Tapi bukan karena saya menghindar atau takut untuk berbeda. Not at all. Perbedaan bukan barang baru bagi saya.
Tapi harus dengan cara berwibawa, seperti dicontohkan para pejuang kita. Mereka berdebat terbuka, tapi tetap akrab. Apakah keakraban Pak Natsir dengan Pak Kasimo dianggap safety playing?
Berbeda tak harus mengambil jarak. Tradisi inilah yang harus kita hidupkan kembali. Harus dibedakan antara safety player dan being able to communicate to everyone.
U : Cukup kuatkah Anda bila mesti beralih dari pendidikan ke dunia politik yang jauh lebih keras?
ABW :
Kekuatan itu proses. Tak bisa mendadak. Kita sering mengasosiasikan sikap tegas dengan kasar, karena kita sering ketemu ketegasan dengan pendekatan militer. Padahal (para founder negara kita) adalah orang-orang tegas tapi ekspresinya amat santun dan tanpa kekerasan.
Saya membayangkan orang bisa berbeda tanpa saling mengintimidasi, tanpa kekerasan. Saya tidak bisa mengatakan saya kuat, itu proses,makin dibenturkan makin tangguh.
U : Anda merasa punya modal untuk ke politik?
ABW :
Tadi malam saya berdiskusi tentang trust. Rumus trust adalah: competency + integrity+ intimacy - self interest. Meski (memiliki) competency, integrity, dan intimacy, seseorang bisa drop kalau self interest-nya terlalu banyak.
Banyak pemimpin di Indonesia yang terlalu besar self interest-nya, sementara para pendiri bangsa kita adalah orang-orang sudah selesai dengan diri sendiri. Mereka tak lagi bicara apa yang saya dapat dari sini. Kita kini kekurangan orang yang sudah selesai dengan dirinya.
U : Sejumlah penghargaan internasional yang Anda terima, apakah terasa membebani?
ABW :
Biasa saja karena saya tidak pernah meminta atau mengajukan diri untuk mendapatkannya. I take it easy, tidak merasa terbebani. Kalau itu dijadikan beban, energi saya bisa habis hanya untuk menjaga citra. Jadi jalani saja, biarkan orang menilai.
*****
ANIES baru berumur tujuh tahun saat ia dikeroyok sekelompok anak sebayanya. Ibunya melintas dan melihat kejadian itu. Alih-alih turun tangan, sang ibu malah terus memacu sepeda motor dan pulang. Sampai di rumah, ibunya menangis, dan seorang budenya bertanya: kenapa. "Itu si Anies dikeroyok orang."
"Lho, kok tidak ditolong," kata si bude. "Biar dia menghadapi sendiri, biar dia belajar."
Sang bude menceritakan kejadian itu setelah Anies dewasa. Anies mengaku tak ingat kejadian itu tapi dia amat terkesan oleh cara ibunya mendidik: karena melihat situasinya terukur, dia tak menolong anaknya, walau sebenarnya amat sedih.
Sang ayah juga setali tiga uang dalam mendidiknya. Pernah suatu ketika di masa SMP, Anies disetop polisi karena membawa sepeda motor tanpa SIM. Anies pulang, mengadu kepada bapaknya. Sang ayah kemudian mengantarnya ke kantor polisi. tapi meminta anaknya menyelesaikan sendirian semua urusan dengan polisi.
Anies mengaku beruntung tidak tumbuh dalam kemanjaan, dia dididik dengan tegas. "Saya amat bersyukur dibesarkan oleh keluarga seperti itu," katanya.
*****
U : Sejak dulukah Anda berniat jadi pendidik?
ABW :
I am very much blessed dibesarkan oleh kakek-nenek dan orang tua yang baik. Apa pun yang Anda lihat pada diri saya sekarang adalah cermin dari pahala mereka. Tapi kami tidak pernah dididik untuk menjadi guru.
Saya datang dari keluarga aktivis. Rumah kami adalah home of the activist. Sehari-hari yang saya lihat adalah diskusi dan perdebatan keras tentang aneka topik: dari masyarakat sampai negara.
U : Anda paham apa yang mereka bicarakan?
ABW :
Of course not, I was just standing there and listening. Tapi saya bersyukur tumbuh di lingkungan amat dinamis dan penuh diskusi.
U : Kami dengar Anda sebenarnya ingin jadi musisi?
ABW :
Ceritanya begini, waktu kecil, saya selalu menonton drum band 17 Agustus-an di Jalan Malioboro. Yang main anak-anak Akademi Angkatan Udara. Keren sekali mereka. Saya terkagum-kagum. That's my hero. Saya mau seperti mereka kalau sudah gede nanti.
Minggu lalu saya datang ke HUT Angkatan Udara di Halim, saya bilang ke anak saya, "Dulu Bapak ingin seperti itu." Tapi sampai sekarang saya bahkan tidak bisa main musik, ha-ha-ha.
U : Apa kesenangan di masa kecil?
ABW :
Waktu SD, saya sering naik sepeda ke perpustakaan Kedaulatan Rakyat, pinjam buku-buku. Saya senang baca buku biografi. Hampir semua tokoh yang saya baca lahir dan besar di Bukittinggi, seperti Hatta, Sjahrir
dan Sjafruddin.
Saya kemudian pergi ke sana karena ingin melihat seperti apa Jam Gadang, Koto Gadang, Ngarai Sianok di Kota Bukittinggi. Saya ingin tahu mengapa kota ini menghasilkan banyak orang besar.
U : Bagaimana kedekatan dengan Kakek A.R. Baswedan?
ABW :
Waktu kelas III atau IV SD, saya rutin mengetik surat-surat kakek saya. Di akhir surat, dia selalu bilang: surat ini saya diktekan dan diketik oleh cucu saya, Anies.
Saya amat bangga, walaupun saya tahu itu juga caranya untuk bilang keorang: there are many mistakes here. Ha-ha-ha... biasanya, setelah saya ketik, surat dia koreksi lagi dengan dicorat- coret. Setelah itu saya yang mengirim ke kantor pos.
U : Seperti apa Anda mendidik anak- anak di rumah?
ABW :
Situasinya sekarang berbeda. Kalau lagi libur, orang secara sadar terpaksa pergi ke tempat yang gampang, misalnya mal. Kami sering ke museum dan sering menjadi satu-satunya pengunjung. Anak sulung saya Tia --kini 13 tahun-- memilih liburan seminggu lebih di sebuah desa di Majene, Sulawesi Barat.
U : Anda mengarahkan pilihan itu?
ABW :
Ada beberapa pilihan, tapi itu (ke Majene) kemauan dia sendiri—dan bisa melatih dia hidup bersahaja. Saya berusaha mendekatkan anak dengan kehidupan sehari-hari. Kakek-nenek dan orang tua saya terpelajar, tapi bukan orang kaya. We live a very decent life, dan saya menerapkan hal itu ke anak-anak.
U : Umpamanya?
ABW :
Kalau ke sekolah (di Al-Izhar Pondok Labu)—anak saya diantar sepeda motor. Sedangkan semua temannya diantar mobil. Dia termasuk tiga orang di kelasnya yang tak pakai BlackBerry. Baru minggu lalu dia dapat, bekas (milik) istri saya.
U : Rupanya Anda tidak suka bermewah-mewah?
ABW :
Anda tahu saya beli baju ini di mana? (Anies memegang kemeja birunya.) Ini dari Pasar Ular. Itu pasar yang saya datangi sejak masih kuliah, so what?
Semua dasi saya beli di Yogya, harganya sepuluh ribu per dasi. Ini dasi bekas dari Jepang, diperbaiki sedikit dan jadi bagus lagi. Kenapa mesti beli yang mahal? Kita membeli barang karena fungsi, bukan karena mahal.
U : Apakah anak-anak Anda bisa terima hal ini?
ABW :
Pernah ada cerita lucu. Anak saya nomor dua, Kaisar, saya belikan sepatu di Pasar Ular. Itu sebenarnya asli. Tapi, kalau kelebihan produksi dan ada cacat, pasti dilempar ke secondary market. Lalu Kaisar bilang: my friend has the real one, ha-ha-ha...
Pernah dia mengeluh karena sepatu bola yang dibeli di Pasar Rumput solnya mudah copot. Saya bilang, itu bukan karena Pasar Rumputnya, melainkan lantaran tidak dijahit. Begitu sol dijahit, selesai persoalan, sepatu jadi tahan lama. Saya ingin mengajar anak-anak membeli sesuatu karena fungsinya, bukan karena itu mahal.
U : Jadi Anda tidak pernah membawa anak ke mal?
ABW :
Tentu pernah. Kami tidak mendorong gerakan anti-mal. Kadang-kadang mereka melihat sesuatu di mal, lalu memintanya sebagai hadiah ulang tahun. Oke, kami menunggu sampai ulang tahun, dan membelikannya. Tapi saya mau mengajari anak-anak menikmati apa saja, dan tidak harus di mal.
*****
SEORANG teman di sekolah menengah sekali waktu bertanya kepada Anies, benarkah dia tak punya pacar di masa SMA? Si teman kemudian meneruskan penelusurannya kepada kawan-kawan mereka, mencari "saksi" yang tahu pacar Anies di masa sekolah. Ramai mereka membahas, dan hasilnya: tak ada yang ditaksir Anies.
Begitulah. Meski dikerubungi sejumlah fan wanit, "banyak yang diam-diam mengirim surat cinta" Anies memilih sendirian di masa SMA dan kuliah. Dia mengaku banyak berkonsultasi kepada ibu dan neneknya tentang wanita. "Saya tak mau membuat wanita berharap-harap, lalu menjatuhkan harapan itu," katanya.
Selain itu, ujarnya, "Saya agak sombong sedikit kalau memilih pasangan, ha-ha-ha..."
Dia mengaku "kena batunya" saat nyaris ditolak Ferry Farhati, sepupu yang kemudian menjadi istrinya. Kesibukan Anies yang tiada henti sempat membuat Ferry cemas sang kekasih kelak tak punya waktu untuk keluarga. Semasa pacaran, mereka jarang bersama- sama. "Bukan karena tak mau, tapi tak sempat," kata Anies.
Kini, keduanya telah dikaruniai empat buah hati: Mutiara Annisa, 13 tahun, Mikail Azizi (10), Kaisar Hakam (5), dan Ismail Hakim (2). Keluarga ini menempati sebuah rumah serba hijau dan ramai dengan cuitan burung di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan.
Di halaman belakang dipasang dua ayunan dan dua tempat bergelantung seperti yang dipakai pesenam anak-anak. Bahkan ayah-ibu keempat anak ini bebas bergelayutan di pohon dan berlarian di rumput. "Walau tinggal di Jakarta, saya tetap ingin menciptakan suasana kampung," tutur Anies.
Dia memamerkan burung beo, cucakrawa, dan anis (ya, ada burung dengan nama serupa pemiliknya), yang riuh berkicau di taman belakang. Sang beo sesekali merepet: How are you, nggolek bojo ayu, seakan mencerminkan pemiliknya yang berbahasa Jawa dan Inggris.
*****
U : Banyak yang sudah Anda peroleh: prestasi, kepandaian, keluarga bahagia. Jadi apa yang kurang?
ABW :
Kalau saya merasa my life is full, there is no more space to grow. Pertanyaan itu kalau dibalik menjadi: what I have only this and this. Banyak yang belum saya capai, seperti ide, yang saya selalu merasa belum cukup. Tapi saya merasa bersyukur karena selalu ada keinginan untuk tumbuh.
U : Kira-kira godaan apa yang tak bisa Anda tolak?
ABW :
When people around you are no longer able to be truthful. Saya sering khawatir banyak pemimpin yang berjarak dari kenyataan, dari problem masyarakat. Saya khawatir kalau saya tanpa sadar berjarak.
Ada pelayan kantor dan satpam, yang sebenarnya hanya berbeda karena fungsi, tapi tanpa sadar kita berjarak dengan mereka. Ini yang sering saya khawatirkan.
U : Bagaimana dengan uang, harta, atau perempuan?
ABW :
Kalau soal perempuan, silakan tanya teman-teman saya di sekolah menengah tentang Anies girlfriend. Jawabannya pasti tidak ada. Minggu lalu, saya syuting di TV One, kebetulan produsernya teman SMA saya. Dia bilang: Nies, kowe tenanan ora nduwe wedhok (dari bahasa Jawa, Nies, benar kamu tidak punya pacar, Red.) di SMA?
U : Benar nih enggak ada?
ABW :
Kalau ditanya, apakah saya tak tertarik pada seseorang waktu itu? Come on, tentu saja ada. But if I am able to control people who are approaching me, I feel: yes, I win! Ha-ha-ha....
Selain itu, saya amat berhati-hati di urusan yang satu ini. Saya sering ngobrol dengan ibu atau nenek. Mereka bilang, menunjuk contoh, itu perempuan baru ditinggal pacarnya atau bercerai dari suaminya. Maka saya tak mau bermain-main.
U : Kabarnya banyak dapat surat cinta dari para fan.
ABW :
Ini agak membanggakan diri. Well, I was rather popular in high school. Saat itu saya mengisi acara Tanah Air di TVRI Yogya, banyak surat dari fan.
Tidak saya tanggapi karena ibu saya yang banyak memberi petunjuk soal perempuan. Lalu saya ke Amerika ikut program pertukaran pelajar AFS (American Field Service) selama setahun.
U : Jadi Anda "akhirnya" jatuh cinta ke Ferry, sepupu Anda?
ABW :
When I decide to marry someone,I think about the atmosphere of family I would like to have. Of course she has to be beautiful, smart, and understands the challenge we face.
Saya lihat semua itu ada di Ferry. Memang tidak mudah, karena waktu saya habis mengurusi macam-macam. Tanya sama Ferry, kapan kami pacaran. Nyaris enggak sempat. Untungnya dia bersedia. Saya amat bersyukur dengan adanya Ferry dan anak-anak.
U : Dan awalnya Ferry sempat menolak Anda?
ABW :
Ha-ha-ha...iya tuh, berani-beraninya dia nolak Anies.
U : Kalau bepergian, oleh-oleh apa yang Anda bawakan untuk Ferry selain buku?
ABW :
Biasanya buku memang, terutama buku parenting, karena dia psikolog spesialis keluarga dan parenting. Tapi saya juga sering kasih oleh-oleh bros atau kalung, terutama kalau dari tempat unik, misalnya dari Zanzibar. [ ]
***
U Magazine, Mei 2011
Anies Baswedan Mencetak Pemimpin
AKHIR April lalu, Aula Profesor Soedarto di Universitas Diponegoro, Semarang, sesak melampaui daya tampungnya. Sekitar seribu enam ratus anak muda sudi berimpitan demi mendengar pidato Anies Rasyid Baswedan.
Intisari seluruh pidato itu mengajak kaum muda agar mau "hidup susah": pergi ke pelosok-pelosok Indonesia, hidup tanpa listrik, bahkan tanpa air "apalagi sinyal telepon"selama setahun penuh.
Semua yang dia sampaikan adalah bagian dari program Gerakan Indonesia Mengajar yang digagas Anies sejak 2009. Bersama timnya, rektor termuda Indonesia ini mendatangi kampus-kampus di seluruh Indonesia.
Dia merekrut para lulusan terbaik untuk menjadi guru selama setahun di desa-desa Indonesia yang jauh dan terpencil. Untuk angkatan ketiga tahun ini, sudah seribu enam ratus orang melamar. "This is beyond our expectation," kata Anies.
Senang karena bisa menularkan optimisme kepada banyak anak muda melalui Indonesia Mengajar, Anies mengaku belajar optimistis dari para pendiri negeri ini. Termasuk dari kakeknya sendiri, Abdurrahman (A.R.) Baswedan, mantan anggota Konstituante dan Menteri Penerangan zaman Sukarno.
****
Lahir di Kuningan, Jawa Barat, 7 Mei 1969, dia tumbuh di rumah sang eyang di Jalan Dagen, Yogyakarta. Ayahnya, Rasyid Baswedan, pernah menjadi Wakil Rektor Universitas Islam Indonesia, dan ibunya, Aliyah Rasyid, guru besar Universitas Negeri Yogyakarta.
Lingkungan serba akademis adalah dunia yang dia kenal sejak kanak-kanak. Dan dunia akademi pulalah yang menyertai dia, praktis sepanjang hidupnya.
Lulus Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada pada 1995, Anies meraih beasiswa Fulbright untuk pendidikan master bidang Keamanan Internasional dan Kebijakan Ekonomi University of Maryland, College Park, Amerika Serikat. Program doktor dia tunaikan di Departemen Ilmu Politik Universitas Northern Illinois.
Kembali ke Tanah Air, Anies dilantik menjadi Rektor Universitas Paramadina pada 2007. Aneka peluang terbentang di hadapannya dari pendidikan hingga "menyerempet" politik.
Dialah moderator debat calon Presiden dan Wakil Presiden RI di televisi pada 2009. Berpola tutur santun dan berbahasa jernih-tertata membuat Anies kian luas dikenal di dalam negeri maupun di latar internasional.
Majalah Foreign Policy memasukkan namanya dalam daftar 100 intelektual publik dunia pada 2008 (bersanding antara lain dengan Noam Chomsky, Al Gore, Muhammad Yunus, dan Amartya Sen).
World Economic Forum di Davos menunjuk dia sebagai salah satu Young Global Leaders pada 2009. Dan majalah Foresight di Jepang memilihnya sebagai satu dari 20 tokoh pembawa perubahan dunia 20 tahun mendatang, bersama antara lain Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin, Presiden Venezuela Hugo Chavez, serta anggota parlemen dan Sekretaris Jenderal Indian National Congress Rahul Gandhi.
Anies mengaku rileks menanggapi aneka penghargaan itu. Karena, "Saya tak pernah mencari atau mengajukan diri untuk penghargaan apa pun," ujarnya. Dan, "Energi akan habis untuk menjaga citra," dia meneruskan sembari tertawa, bila penghargaan dipandang sebagai beban.
*****
Wartawan U-Mag Hermien Y. Kleden dan Andari Karina Anom, serta fotografer Ijar Karim, mewawancarainya dalam dua kesempatan: di kantor Gerakan Indonesia Mengajar di Kebayoran Baru, dan di rumahnya di Pondok Labu, Jakarta Selatan.
Pertanyaan tentang pendidikan dan politik dia ladeni dengan serius, sedangkan hal-hal pribadi dijawab Anies dengan rileks, senyum lebar, dan diselingi tawa berderai.
Berikut ini petikannya.
U Magazine (U) :
Apa yang membuat Anda yakin Gerakan Indonesia Mengajar bisa berhasil?
Anies Baswedan (ABW) :
Kapan pun kita bicara Indonesi "dari hotel bintang lima hingga warteg" isinya keluhan dan daftar kegagalan melulu. Ketika republik ini merdeka, populasi buta hurufnya 95 persen. Para founder (kita) punya semua persyaratan untuk pesimistis: keterbelakangan dan kemiskinan.
Nyatanya, mereka optimistis. Optimism is contagious. Jadi jangan hanya mengeluh, tapi tak mau terlibat. Hari ini kita punya banyak persyaratan optimistis. Salah satunya lewat anak-anak muda pengajar (dalam Gerakan Indonesia Mengajar).
U : Punya ide menularkan optimisme?
ABW :
Kalau kita tanya apa kekayaan Indonesia, hampir pasti orang menjawab laut, gas, bahan tambang, dan sejenisnya. Mimpi saya, suatu saat nanti jawabannya adalah people!
Manusia menjadi aset jika mereka cerdas, salah satunya lewat pendidikan. Dan mendidik adalah tanggung jawab tiap orang. Yang penting go out and do something.
U : Bagaimana meyakinkan anak-anak muda itu agar mau ke pelosok?
ABW :
Mereka sebenarnya bukan tak mau menjadi guru, melainkan tak mau jadi guru seumur hidup. Profesi guru selalu diasumsikan seumur hidup. Kalau begitu, waktunya dibikin pendek, satu tahun. Attract the best menjadi guru setahun, lalu ganti yang lain.
Ini bukan hal baru. Pada 1952, selama sepuluh tahun ada 1.400 anak muda republik ini dikirim ke 161 kabupaten di seluruh Indonesia untuk mengajar selama dua tahun.
U ; Impresif betul. Apa bisa diterapkan di masa kini?
ABW:
Insya Allah bisa. Program ini bukan untuk mengisi kekurangan guru, melainkan mengajak anak-anak terbaik (Indonesia) hidup bersama rakyat selama setahun. Tujuannya? To create future leaders with world class competence and grass root experience.
Kebanyakan anak-anak itu tahu London dan New York, tapi tidak tahu Halmahera dan Tulangbawang. Kami ingin memberi kesempatan pada anak-anak yang punya kompetensi world class untuk mengenal daerah pedesaan Indonesia.
U : Apa yang bisa dihasilkan dari proses ini?
ABW:
Anak-anak muda Indonesia yang berbeda. Bukan hanya satu orang, tapi satu generasi. Mereka kelak akan menjadi diplomat, CEO, politikus, jurnalis, apa saja. Tapi mereka bisa berkata dengan penuh kebanggaan: "I have served my nation."
Selama ini yang bisa bilang begitu hanya orang-orang berseragam. Jadi (Gerakan Indonesia Mengajar) bukan soal mengajar, melainkan menjadi one of the suppliers for future leaders in Indonesia.
U : Jangan-jangan banyak anak muda tertarik bergabung karena pendekatan Anda, dan bukan karena programnya?
ABW :
Bukan karena saya, melainkan karena semua yang terlibat. Itu sebabnya, kami menyebutnya Gerakan Indonesia Mengajar. Ini satu gerakan sosial untuk pendidikan. Kata-kata Bung Hatta "yang menjadi slogan kami," mendidik adalah memimpin. Itu yang kami sampaikan kepada anak-anak muda itu.
U : Jadi ini soal komunikasi?
ABW :
Banyak hal baik dan mulia di negeri ini yang tak dikomunikasikan dengan baik. Misalnya, mau jadi dokter PTT (pegawai tidak tetap), skemanya seperti hukuman. Kalau dekat kota waktunya 2 tahun, agak jauh 1 tahun, di pelosok 6 bulan.
Mereka menghindar dikirim ke pelosok karena program ini dilihat seperti hukuman, bukan suatu kehormatan. Padahal mengobati anak sakit, lalu melihat kebahagiaan terpancar di mata ibunya, adalah kehormatan, entah di kota atau pelosok. Ini yang saya tekankan di Indonesia Mengajar.
U : Bagaimana respons terhadap Indonesia Mengajar pada tahun ketiga ini?
ABW :
Terus terang saya agak kaget—karena melebihi yang kami bayangkan. Anak-anak berlomba-lomba mendaftar, bukan untuk tinggal di tempat ber-AC dan mobil mewah, melainkan di pelosok tanpa listrik. Kemarin kami bikin acara di Semarang, yang hadir 1.600-an orang.
Selama ini kita sering dengar tentang remaja yang bermasalah ini dan itu, padahal banyak juga yang berniat baik. They are willing to serve.
U : Bisa beri contoh?
ABW :
Ada anak yang baru mengajar satu bulan, mendapat panggilan dari Boston Consulting Group. Dia sempat dilema, mau pilih yang mana. Ternyata dia memutuskan menolak Boston. Wah.... Kalau menolak Boston, lalu memilih McKinsey, okelah. Tapi ini pilihannya mengajar di kampung.
Padahal lokasi mengajarnya di Passer, Kalimantan Timur, yang amat berat, karena di sana mereka tak menghargai pendidikan. Oh my God! Hal-hal seperti ini membuat kita punya alasan untuk tetap optimistis.
U : Boleh tahu Anda ini memposisikan diri seperti apa?
ABW : Bagi saya, yang penting bukan posisi, melainkan peran. Aktor Deddy Mizwar, ketika jadi raja atau pengemis, (perannya) sama-sama mengesankan.
U : Maksudnya?
ABW :
Saya ingin menjalankan peran dengan baik. Tapi saya tidak mengejar posisi tertentu. Saya tidak mengejar menjadi Rektor (Universitas Paramadina). Ketika dilantik menjadi rektor pada 2007, saya bilang: I didn't fight for this position, but I will fight to do the job.
U : Posisi apa yang tak ingin Anda kejar?
ABW :
Any position.
U : Even for president?
ABW :
Even for president. Yang penting kita bisa menginspirasi orang, apa pun posisinya. Tapi harus dibedakan antara siap dan ingin. Kalau ditanya, are you ready? Yes I am. Tapi apakah saya ingin? Itu soal lain. Di republik ini, kita oversupply dengan orang yang ingin, padahal belum tentu siap.
U : Apa prioritas Anda sekarang: bidang pendidikan atau...?
ABW :
Saya tidak pernah merencanakan menjadi apa pun. Dalam perjalanan hidup saya, banyak yang terjadi tanpa saya rencanakan. Ia datang begitu saja, dan kalau kita tidak siap, akan lewat.
Intinya, seperti kata dramawan Stanislavski: empower yourself, be able to contribute a lot, then opportunity will come.
U : Sejumlah orang menyebut Anda safety player, karena tak pernah mengambil posisi berseberangan dengan siapa pun. Ada komentar?
ABW :
Karena tak berada di partai, tak ada keputusan politik yang membuat saya berbeda. Tapi bukan karena saya menghindar atau takut untuk berbeda. Not at all. Perbedaan bukan barang baru bagi saya.
Tapi harus dengan cara berwibawa, seperti dicontohkan para pejuang kita. Mereka berdebat terbuka, tapi tetap akrab. Apakah keakraban Pak Natsir dengan Pak Kasimo dianggap safety playing?
Berbeda tak harus mengambil jarak. Tradisi inilah yang harus kita hidupkan kembali. Harus dibedakan antara safety player dan being able to communicate to everyone.
U : Cukup kuatkah Anda bila mesti beralih dari pendidikan ke dunia politik yang jauh lebih keras?
ABW :
Kekuatan itu proses. Tak bisa mendadak. Kita sering mengasosiasikan sikap tegas dengan kasar, karena kita sering ketemu ketegasan dengan pendekatan militer. Padahal (para founder negara kita) adalah orang-orang tegas tapi ekspresinya amat santun dan tanpa kekerasan.
Saya membayangkan orang bisa berbeda tanpa saling mengintimidasi, tanpa kekerasan. Saya tidak bisa mengatakan saya kuat, itu proses,makin dibenturkan makin tangguh.
U : Anda merasa punya modal untuk ke politik?
ABW :
Tadi malam saya berdiskusi tentang trust. Rumus trust adalah: competency + integrity+ intimacy - self interest. Meski (memiliki) competency, integrity, dan intimacy, seseorang bisa drop kalau self interest-nya terlalu banyak.
Banyak pemimpin di Indonesia yang terlalu besar self interest-nya, sementara para pendiri bangsa kita adalah orang-orang sudah selesai dengan diri sendiri. Mereka tak lagi bicara apa yang saya dapat dari sini. Kita kini kekurangan orang yang sudah selesai dengan dirinya.
U : Sejumlah penghargaan internasional yang Anda terima, apakah terasa membebani?
ABW :
Biasa saja karena saya tidak pernah meminta atau mengajukan diri untuk mendapatkannya. I take it easy, tidak merasa terbebani. Kalau itu dijadikan beban, energi saya bisa habis hanya untuk menjaga citra. Jadi jalani saja, biarkan orang menilai.
*****
ANIES baru berumur tujuh tahun saat ia dikeroyok sekelompok anak sebayanya. Ibunya melintas dan melihat kejadian itu. Alih-alih turun tangan, sang ibu malah terus memacu sepeda motor dan pulang. Sampai di rumah, ibunya menangis, dan seorang budenya bertanya: kenapa. "Itu si Anies dikeroyok orang."
"Lho, kok tidak ditolong," kata si bude. "Biar dia menghadapi sendiri, biar dia belajar."
Sang bude menceritakan kejadian itu setelah Anies dewasa. Anies mengaku tak ingat kejadian itu tapi dia amat terkesan oleh cara ibunya mendidik: karena melihat situasinya terukur, dia tak menolong anaknya, walau sebenarnya amat sedih.
Sang ayah juga setali tiga uang dalam mendidiknya. Pernah suatu ketika di masa SMP, Anies disetop polisi karena membawa sepeda motor tanpa SIM. Anies pulang, mengadu kepada bapaknya. Sang ayah kemudian mengantarnya ke kantor polisi. tapi meminta anaknya menyelesaikan sendirian semua urusan dengan polisi.
Anies mengaku beruntung tidak tumbuh dalam kemanjaan, dia dididik dengan tegas. "Saya amat bersyukur dibesarkan oleh keluarga seperti itu," katanya.
*****
U : Sejak dulukah Anda berniat jadi pendidik?
ABW :
I am very much blessed dibesarkan oleh kakek-nenek dan orang tua yang baik. Apa pun yang Anda lihat pada diri saya sekarang adalah cermin dari pahala mereka. Tapi kami tidak pernah dididik untuk menjadi guru.
Saya datang dari keluarga aktivis. Rumah kami adalah home of the activist. Sehari-hari yang saya lihat adalah diskusi dan perdebatan keras tentang aneka topik: dari masyarakat sampai negara.
U : Anda paham apa yang mereka bicarakan?
ABW :
Of course not, I was just standing there and listening. Tapi saya bersyukur tumbuh di lingkungan amat dinamis dan penuh diskusi.
U : Kami dengar Anda sebenarnya ingin jadi musisi?
ABW :
Ceritanya begini, waktu kecil, saya selalu menonton drum band 17 Agustus-an di Jalan Malioboro. Yang main anak-anak Akademi Angkatan Udara. Keren sekali mereka. Saya terkagum-kagum. That's my hero. Saya mau seperti mereka kalau sudah gede nanti.
Minggu lalu saya datang ke HUT Angkatan Udara di Halim, saya bilang ke anak saya, "Dulu Bapak ingin seperti itu." Tapi sampai sekarang saya bahkan tidak bisa main musik, ha-ha-ha.
U : Apa kesenangan di masa kecil?
ABW :
Waktu SD, saya sering naik sepeda ke perpustakaan Kedaulatan Rakyat, pinjam buku-buku. Saya senang baca buku biografi. Hampir semua tokoh yang saya baca lahir dan besar di Bukittinggi, seperti Hatta, Sjahrir
dan Sjafruddin.
Saya kemudian pergi ke sana karena ingin melihat seperti apa Jam Gadang, Koto Gadang, Ngarai Sianok di Kota Bukittinggi. Saya ingin tahu mengapa kota ini menghasilkan banyak orang besar.
U : Bagaimana kedekatan dengan Kakek A.R. Baswedan?
ABW :
Waktu kelas III atau IV SD, saya rutin mengetik surat-surat kakek saya. Di akhir surat, dia selalu bilang: surat ini saya diktekan dan diketik oleh cucu saya, Anies.
Saya amat bangga, walaupun saya tahu itu juga caranya untuk bilang keorang: there are many mistakes here. Ha-ha-ha... biasanya, setelah saya ketik, surat dia koreksi lagi dengan dicorat- coret. Setelah itu saya yang mengirim ke kantor pos.
U : Seperti apa Anda mendidik anak- anak di rumah?
ABW :
Situasinya sekarang berbeda. Kalau lagi libur, orang secara sadar terpaksa pergi ke tempat yang gampang, misalnya mal. Kami sering ke museum dan sering menjadi satu-satunya pengunjung. Anak sulung saya Tia --kini 13 tahun-- memilih liburan seminggu lebih di sebuah desa di Majene, Sulawesi Barat.
U : Anda mengarahkan pilihan itu?
ABW :
Ada beberapa pilihan, tapi itu (ke Majene) kemauan dia sendiri—dan bisa melatih dia hidup bersahaja. Saya berusaha mendekatkan anak dengan kehidupan sehari-hari. Kakek-nenek dan orang tua saya terpelajar, tapi bukan orang kaya. We live a very decent life, dan saya menerapkan hal itu ke anak-anak.
U : Umpamanya?
ABW :
Kalau ke sekolah (di Al-Izhar Pondok Labu)—anak saya diantar sepeda motor. Sedangkan semua temannya diantar mobil. Dia termasuk tiga orang di kelasnya yang tak pakai BlackBerry. Baru minggu lalu dia dapat, bekas (milik) istri saya.
U : Rupanya Anda tidak suka bermewah-mewah?
ABW :
Anda tahu saya beli baju ini di mana? (Anies memegang kemeja birunya.) Ini dari Pasar Ular. Itu pasar yang saya datangi sejak masih kuliah, so what?
Semua dasi saya beli di Yogya, harganya sepuluh ribu per dasi. Ini dasi bekas dari Jepang, diperbaiki sedikit dan jadi bagus lagi. Kenapa mesti beli yang mahal? Kita membeli barang karena fungsi, bukan karena mahal.
U : Apakah anak-anak Anda bisa terima hal ini?
ABW :
Pernah ada cerita lucu. Anak saya nomor dua, Kaisar, saya belikan sepatu di Pasar Ular. Itu sebenarnya asli. Tapi, kalau kelebihan produksi dan ada cacat, pasti dilempar ke secondary market. Lalu Kaisar bilang: my friend has the real one, ha-ha-ha...
Pernah dia mengeluh karena sepatu bola yang dibeli di Pasar Rumput solnya mudah copot. Saya bilang, itu bukan karena Pasar Rumputnya, melainkan lantaran tidak dijahit. Begitu sol dijahit, selesai persoalan, sepatu jadi tahan lama. Saya ingin mengajar anak-anak membeli sesuatu karena fungsinya, bukan karena itu mahal.
U : Jadi Anda tidak pernah membawa anak ke mal?
ABW :
Tentu pernah. Kami tidak mendorong gerakan anti-mal. Kadang-kadang mereka melihat sesuatu di mal, lalu memintanya sebagai hadiah ulang tahun. Oke, kami menunggu sampai ulang tahun, dan membelikannya. Tapi saya mau mengajari anak-anak menikmati apa saja, dan tidak harus di mal.
*****
SEORANG teman di sekolah menengah sekali waktu bertanya kepada Anies, benarkah dia tak punya pacar di masa SMA? Si teman kemudian meneruskan penelusurannya kepada kawan-kawan mereka, mencari "saksi" yang tahu pacar Anies di masa sekolah. Ramai mereka membahas, dan hasilnya: tak ada yang ditaksir Anies.
Begitulah. Meski dikerubungi sejumlah fan wanit, "banyak yang diam-diam mengirim surat cinta" Anies memilih sendirian di masa SMA dan kuliah. Dia mengaku banyak berkonsultasi kepada ibu dan neneknya tentang wanita. "Saya tak mau membuat wanita berharap-harap, lalu menjatuhkan harapan itu," katanya.
Selain itu, ujarnya, "Saya agak sombong sedikit kalau memilih pasangan, ha-ha-ha..."
Dia mengaku "kena batunya" saat nyaris ditolak Ferry Farhati, sepupu yang kemudian menjadi istrinya. Kesibukan Anies yang tiada henti sempat membuat Ferry cemas sang kekasih kelak tak punya waktu untuk keluarga. Semasa pacaran, mereka jarang bersama- sama. "Bukan karena tak mau, tapi tak sempat," kata Anies.
Kini, keduanya telah dikaruniai empat buah hati: Mutiara Annisa, 13 tahun, Mikail Azizi (10), Kaisar Hakam (5), dan Ismail Hakim (2). Keluarga ini menempati sebuah rumah serba hijau dan ramai dengan cuitan burung di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan.
Di halaman belakang dipasang dua ayunan dan dua tempat bergelantung seperti yang dipakai pesenam anak-anak. Bahkan ayah-ibu keempat anak ini bebas bergelayutan di pohon dan berlarian di rumput. "Walau tinggal di Jakarta, saya tetap ingin menciptakan suasana kampung," tutur Anies.
Dia memamerkan burung beo, cucakrawa, dan anis (ya, ada burung dengan nama serupa pemiliknya), yang riuh berkicau di taman belakang. Sang beo sesekali merepet: How are you, nggolek bojo ayu, seakan mencerminkan pemiliknya yang berbahasa Jawa dan Inggris.
*****
U : Banyak yang sudah Anda peroleh: prestasi, kepandaian, keluarga bahagia. Jadi apa yang kurang?
ABW :
Kalau saya merasa my life is full, there is no more space to grow. Pertanyaan itu kalau dibalik menjadi: what I have only this and this. Banyak yang belum saya capai, seperti ide, yang saya selalu merasa belum cukup. Tapi saya merasa bersyukur karena selalu ada keinginan untuk tumbuh.
U : Kira-kira godaan apa yang tak bisa Anda tolak?
ABW :
When people around you are no longer able to be truthful. Saya sering khawatir banyak pemimpin yang berjarak dari kenyataan, dari problem masyarakat. Saya khawatir kalau saya tanpa sadar berjarak.
Ada pelayan kantor dan satpam, yang sebenarnya hanya berbeda karena fungsi, tapi tanpa sadar kita berjarak dengan mereka. Ini yang sering saya khawatirkan.
U : Bagaimana dengan uang, harta, atau perempuan?
ABW :
Kalau soal perempuan, silakan tanya teman-teman saya di sekolah menengah tentang Anies girlfriend. Jawabannya pasti tidak ada. Minggu lalu, saya syuting di TV One, kebetulan produsernya teman SMA saya. Dia bilang: Nies, kowe tenanan ora nduwe wedhok (dari bahasa Jawa, Nies, benar kamu tidak punya pacar, Red.) di SMA?
U : Benar nih enggak ada?
ABW :
Kalau ditanya, apakah saya tak tertarik pada seseorang waktu itu? Come on, tentu saja ada. But if I am able to control people who are approaching me, I feel: yes, I win! Ha-ha-ha....
Selain itu, saya amat berhati-hati di urusan yang satu ini. Saya sering ngobrol dengan ibu atau nenek. Mereka bilang, menunjuk contoh, itu perempuan baru ditinggal pacarnya atau bercerai dari suaminya. Maka saya tak mau bermain-main.
U : Kabarnya banyak dapat surat cinta dari para fan.
ABW :
Ini agak membanggakan diri. Well, I was rather popular in high school. Saat itu saya mengisi acara Tanah Air di TVRI Yogya, banyak surat dari fan.
Tidak saya tanggapi karena ibu saya yang banyak memberi petunjuk soal perempuan. Lalu saya ke Amerika ikut program pertukaran pelajar AFS (American Field Service) selama setahun.
U : Jadi Anda "akhirnya" jatuh cinta ke Ferry, sepupu Anda?
ABW :
When I decide to marry someone,I think about the atmosphere of family I would like to have. Of course she has to be beautiful, smart, and understands the challenge we face.
Saya lihat semua itu ada di Ferry. Memang tidak mudah, karena waktu saya habis mengurusi macam-macam. Tanya sama Ferry, kapan kami pacaran. Nyaris enggak sempat. Untungnya dia bersedia. Saya amat bersyukur dengan adanya Ferry dan anak-anak.
U : Dan awalnya Ferry sempat menolak Anda?
ABW :
Ha-ha-ha...iya tuh, berani-beraninya dia nolak Anies.
U : Kalau bepergian, oleh-oleh apa yang Anda bawakan untuk Ferry selain buku?
ABW :
Biasanya buku memang, terutama buku parenting, karena dia psikolog spesialis keluarga dan parenting. Tapi saya juga sering kasih oleh-oleh bros atau kalung, terutama kalau dari tempat unik, misalnya dari Zanzibar. [ ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar